KOMPILASI HUKUM ISLAM *
BUKU I
HUKUM PERKAWINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan
upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,
yang diberi hak dan kewenangan untuk
bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang
diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan
oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberiandari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak ialah perjanjian yang
diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa
Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi dimasa
yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau
Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
atau bersam suami-isteri selam dalam
ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan atak atau hadhonah
adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anaka
hingga dewasa atau mampu berdiri
sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang masih
hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang
terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau
iwadl kepada dan atas persetujuan
suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami
kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang
dan lainnya.
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut
apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam
Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32
Tahun 1954.
* Disalin dari ”Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam
Departemen Agama, 2001.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam
pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya
ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka
penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang
terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan
itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati
hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk
putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik
talak.
Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada
pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat
dimintakan salinannya kepada Pengadilan
Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud
dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan
permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan
kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
BAB III
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan
oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh,
tapi dapat pula dilakukan oleh perentara
yang dapat dipercaya.
Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap
seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda
yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang
masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang
untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang
wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria
tersebut belum putus atau belaum ada
penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria,
karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan
atau secara diam-diam. Pria yang
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat
hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan
peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan
peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntunan agar dan kebiasaan
setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling
menghargai.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada
:
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun
1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya
berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum
mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana
yang diatur dalam pasal 6 ayat
(2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas
persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai
wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan
tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat
juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang
tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan
Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu
persetujuan calon mempelai di hadapan
dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak
disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu
tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita
tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan
dengan tulisan atau isyarat yang dapat
dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang
akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam bab
VI.
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah
ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat
kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang lain
sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki
garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara
laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni
saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki
kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali
nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak
menjadi wali, maka yang paling berhak
menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita.
(3) Ababila dalamsatu kelompok sama
derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali
nikah ialah karabat kandung dari
kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok,
derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung
atau sama-sama dengan kerabat seayah,
mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan
mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak,
urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau
oleh karena wali nikah itu menderita
tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali
bergeser kepada wali nikah yang lain
menurit derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau
enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan
maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan pengadilan Agama
tentang wali tersebut.
Bagian Keempat
Saksi Nikah
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan
rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan
oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam
akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil
baligh, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan
secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta
Nikah pada waktu dan ditempat akad
nikah dilangsungkan.
Bagian Kelima
Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara
pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah
calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul
nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan
calon mempelai pria memeberi kuasa yang
tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas
akad nikah itu adalah untuk mempelai
pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita
atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB V
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar
mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua
belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon
mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan
tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita
menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau sebagian. Mahar yang
belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon
mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar
bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh
mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan. Begitu pula halnya dalam
keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya
perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla
al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla
al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
sumai wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum
diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan barang
lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat
mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian
diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung
cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap
bersedia menerimanya tanpa syarat,
penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk
menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya
belum diserahkan, mahar dianggap masih
belum dibayar.
BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan
atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah
atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang
melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang
melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri
orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan
isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu
qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri
keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan
seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan
seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara
sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan
dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh
isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan
tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan
masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada
dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama
islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu
isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan
isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu
atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau
kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1)
tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi
masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri
yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talak raj`i ataupun
salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah
talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya
yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas
isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1)
huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria
lain, kemudian perkawinan tersebut
putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan
dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak
sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan
persoalannya
ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah
satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjikan
tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan
Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1)
dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1)
dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan
kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta
bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian
perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka
perjanjian tersebut tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian
perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama
atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta
pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing
ke dalam perkawinan maupun yang
diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan
tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi yang dibawa
pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
percampuran ini tidak meliputi harta
pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai
harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung
mulai
tanggal dilangsungkan perkawinan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai
harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan
wajib
mendaftarkannya di Kantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
(3) sejak pendaftaran tersebut,
pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak
ketiga pencabutan baru mengikat sejak
tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam
suatu surat kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan
pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan
sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan
mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian y7ang telah
diperbuat sebelumnya dengan pihak
ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan
memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan
nikah atau mengajukannya. Sebagai
alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan
dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh
doiperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan
dinikahinya itu.
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam
keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga
boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam
keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram
perkawinannya tidak sah.
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada
waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari
seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri
dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut
pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri
dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih
dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud
pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII
Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan
isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut
pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan
Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri-isteri
dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada
sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1)
huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau
isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar
dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun
atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan
persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari
satu orang berdasarkan atas salh satu
alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan
Agama dapat menetapkan tenyang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan
untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat
dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
menurut hukum Islam dan peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaafu
al dien.
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan
ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan
lurus ke bawah, saudar, wali nikah,
wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah
melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak
kewaliannya unuk mencegah perkawinan
yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan
oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam
perkawinan dalam perkawinan dengan
salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan
melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi
perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila
rukun dan syarat perkawinan tidak
terpenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan
kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana
perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai
diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan
dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan
apabila pencegahan belu dicabut.
Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut
dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan Agama oleh yang mencegah
atau denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak
diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9,
pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang
No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal 69
(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat
bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia
akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka
permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan
oleh Pegawai Pencatat Nikah akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut
disertai dengan alasan-alasan
penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya
ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Agama dalam wilayah mana Pegawai
Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan
berkedudukan untuk memberikan
keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan
tersebut diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa
perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan
ketetapan, apabila akan menguatkan
penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya
perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya,
jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan
tersebut hilang dan para pihak yang
ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang
maksud mereka.
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang
ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat orang isteri sekalipun
salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b. seseorang menikah bekas isterinya
yang telah dili`annya;
c. seseorang menikah bekas isterinya
yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas
isteri tersebut pernah menikah dengan
pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria
tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua
orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan
sesusuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang
No.1 Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus kebawah ataukeatas.
2. berhubugan darah dalam garis keturunan
menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua,
anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua
sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan.
e. isteri adalah saudara kandung atau
sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan
apabila:
a. seorang suami melakukan poligami
tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata
kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata
masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur
perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali
atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan
paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah
ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti,
atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu
masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat
menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan
perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang
mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut
dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan
dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau isteri atau
perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah
satu sumaiatau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan
pembatalan perkawinan kekutan hukum
yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan
memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya.
BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi
dasar dan susunan masyarakat
(2) Suami isteri wajib saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satui kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban
untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara
kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan
kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama
Pasal 78
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat
kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam
ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan
isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap
isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang
penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan
agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami
menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman
bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya
seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai
berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya
dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana
dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat
kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang
masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat
tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan,
atau dalam iddah talak atau iddah
wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk
melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,
sehingga mereka merasa aman dan
tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai
tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat
kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih
Dan Seorang
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih
dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan
biaya hidup kepada masing-masing isteri
secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung masing-masing
isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan
ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat
kediaman.
Bagian Keenam
Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri
ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang
dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika
ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 83 ayat (1)
kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz,
kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)
huruf a dan b tidak berlaku kecuali
hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat
(2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak
adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan
itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing
suami atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran
antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak
isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasi penuh
olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami
dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hasiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara
suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta
bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga
harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut
dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau
tidak berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat
meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug
dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan
sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan
pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama.
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang
suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang
yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan
kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi,
dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau
mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masingmasing
terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari
perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung
pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,
ketiga atau keempat.
Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun
1975 dan pasal 136 untuk meletakkan
sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah
satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi,
mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan
penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga
dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama,.
2. Pembangian harta bersama bagi
seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang
harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum
atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk
salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan
kewajiban trsebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.
Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang
sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya
anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan
li`an.
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang
anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama dalam jangka
waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari
sesudah putusnya perkawinan atau
setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak
dan berada di tempat yang memungkinkan
dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan
Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukansesudah
lampau waktu terebut tidak dapat diterima
Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat
dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat
buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama
dapat mengeluarkan penetapan tentang
asal usul seorang anak setelah mengadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan
Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak
dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah
meninggal dunia, maka biaya penyusuan
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi
nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling
lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa
kurang dua tahun dengan persetujuan
ayah dan ibunya.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung
olehayahnya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan
mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau
dibawah pengampunan, dan tidak
diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali
karena keperluan yang mendesak jika
kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari
kewajiban tersebut pada ayat (1).
BAB XV
PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang
belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian
terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau
lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan
Agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan
kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari
keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa,
berpiiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada
seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian
atas diri dan kekayaan anak atau
anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak
perwalian seseorang atau badan hukum dan
menindahkannya kepada pihak lain atas
permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,
pemboros,gila dan atau melalaikan atau
menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah
perwaliannya.
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan
harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan
sebaik-baiknya dan berkewajiban
memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan
lainnya untuk masa depan orang yang
berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan,
membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, kecuali bila perbuatan
tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya yang tidak dapat
dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap
harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai
akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan
yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1
tahun 1974, pertanggungjawaban wali
tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang
ditutup tiap satu tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan
seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila
yang bersangkutan telah mencapai umur
21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir,
maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan
antara wali dan orang yang berada di
bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan
kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang
yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut
kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.
BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan
atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat
badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
k. peralihan agama tau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan
sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau
kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa
iddah.
Pasal 119
1. talak Ba`in Shughraa adalah talak
yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana
tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang
terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk
dan tidak dapat dinikahkan kembali,
kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri,
menikah degan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang
dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci
dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut.
Pasal 122
Talak bid`I adalahtalak yang dilarang,
yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid atau isteri dalam keadaan suci
tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada
saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan
antara suami isteri untuk selama-lamnya.
Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh
isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan
atau yang sudah lahir dari isterinya,
sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut.
Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut
:
a. Suami bersumpah empat kali dengan
kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut
diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
“laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau
pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata
“tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
murka Allah atas dirinya :tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b
tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak
diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di
hadapan sidang Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan
talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau
menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan
mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh
hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak
berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan
untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalamrumah
tangga, pengadilan Agama menjatuhkan
keputusannya tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai
kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan
sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh
isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar
talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan
Pengadilan Agama tentang izin ikrar
talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka
hak suami untuk mengikrarkan talak
gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar
talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya
Talak rangkap empat yang merupakan
bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk
diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masingmasing
diberikan kepada suami isteri dan helai
keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh
isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal
penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat
kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan
gugatan tersebut kepada tergugat melalui
perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah
lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak
tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila
tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah
cukup jelas bagi Pengadilan Agama
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan
setelah mendengar pihak keluarga serta
orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti
penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang
memutuskan perkara disertai keterangan
yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
1. Selama berlangsungya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat
mengizinkan suami isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan Agama dapat :
a. menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi
hak bersama suami isteri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami
atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan
Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. Apabila tempat kediaman tergugat
tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman
yang tetap, panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di
Pengadilan Agama dan mengumumkannya
melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau
surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1)
dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama
dan kedua
3. Tenggang dwaktu antara penggilan
terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
persidangan ditetapkan
sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya
tetap tidak hadir, gugatan diterima
tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak
atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2),
panggilandisampaikan melalui perwakilan
Republik Indonesia setempat
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah diterimanya berkas atau surat
gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang
gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu
pemanggilan dan diterimanya panggilan
tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
meeka.
3. Apabila tergughat berada dalam
keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang
pemeriksaan gugatan perceraian
ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak
dimasukkanya gugatan perceraian pada
Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan
perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan
kepada kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan,
untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat
memerintahkan yang bersangkutan untuk
hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian
Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan
usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka tidak
dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan atau alasan-alasan yang ada
sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada
waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian,
pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi
beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempuntai
kekuatan hukum yang tetap
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu
diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan
salinan surat putusan tersebut kepada
suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta
Nikah dari masing-masing yang
bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama
berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama
mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteri
atau kuasanya bahwa putusan tersebut
ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
merupakan bukti perceraian bagi suami
dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat
catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah
yang bersangkutan bahwa mereka telah
bercerai.
Catatan tersebut berisi tempat
terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat
putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah
dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka
dilangsungkan, maka satu helai salinan
putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud
dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
perkawinan dilangsungka dan bagi
perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu
disampaikan kepada Pegawai Pencatat
Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan
putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera
yang bersangkutan, apabila yang
demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau
isteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan
gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan
permohonannya kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan
atau lasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya
satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar
keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut
Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk,
dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat
tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan
Agama memberikan penetapan tentang izin
bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan
sidang Pengadilan Agama. Terhadap
penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh
sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama
memeriksa dan memutuskan sebagai
perkara biasa.
BAB XVII
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak,
maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada
bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah
kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas
isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau
nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang
seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk
anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju`
kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.
Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib
menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah
dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah
iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang isteri yang putus
perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al
dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda
ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena
kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)
hari:
b. Apabila perkawinan putus karena
perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3
(tiga) kali suci dengan
sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena
perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena
kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang
putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
gtersebut dengan bekas suaminya qobla
al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya,
Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian,
tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah
haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena
menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu
haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5)
bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun,
akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali
waktu suci.
Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian
dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal
153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah
menjadi empat bulansepuluh hari
terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus
perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah
talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak
mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke
atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke
atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang
bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah
menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak
memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata
tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak,
meskipun biaya nafkah dan hadhanah
telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai
anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan
mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
membverikan putusannya berdasrkan huruf
(a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan
mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan
sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97
Bagian Keempat
Mut`ah
Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami
dengan syarat :
a. belum ditetapkan mahar bagi
isteriba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas
suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan
kepatutan dan kemampuan suami.
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk
mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk
Bagian Keenam
Akibat Li`an
Pasal 162
Bilamana li`an terjadi maka perkawinan
itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang
suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII
RUJUK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 163
(1) Seorang suami dapat merujuk
isterunya yang dalam masaiddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal
:
a. putusnya perkawinan karena talak,
kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang
dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan
putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan
selain zina dan khuluk.
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I
berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas
suaminya dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah disaksikan dua orang saksi
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa
sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan
Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut
hilang atau rusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada
instansi yang mengeluarkannya semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya
datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan
membawa penetapan tentang terjadinya
talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan
isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki
apakah suami yang akan merujuk itu
memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan
dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan
yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan
rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi
menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan,
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikahmenasehati suami isteri tentang
hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan
dengan rujuk.
Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di
hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat
rangkap 2 (dua), diisi dan
ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksisaksi,
sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat
keterengan yang diperlukan untuk dicatat
dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari
daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar
rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
membuatkan salinan dari daftar lembar
kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab
hilangnya.
Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat
surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya
kepada Pengadilan Agama ditempat
berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami
dan isteri masing-masing diberikan
Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang
ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan
membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang
ke Pengadilan Agama di tempat
berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil
Kutipan akta Nikah masing-masing yang
bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan
Agama dalam ruang yang telah tersedia
ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang
bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua)
berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor
dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk dan tanda tangan Panitera.
BAB XIX
MASA BERKABUNG
Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh
suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa
iddah sebagai tanda turut berduka cita
dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh
isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
BUKU II
HUKUM KEWARISAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 171
Yang dimaksud dengan:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada
saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda
dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal
dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
aorang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
h. Anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya beralih tanggung
jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan Pengadilan.
i. Baitul Mal adalah Balai Harta
Keagamaan.
BAB II
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam
apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau
amalan atau kesaksian, sedangkan bagi
bayi yang baru lahir atau anak yang belum di\ewasa,
beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris
apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris
terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari :
ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari :
ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri
dari : duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka
yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu,
janda atau duda.
Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap
pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai
pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang
berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban
pewaris maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara
wahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap
hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah
atau nilai harta peninggalannya.
BAB III
BESARNYA BAHAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia
mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapzt dua
pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian anak
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila
pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian. *
Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila
ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak
atau dua orang saudara atau lebih, maka
ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari
sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama
dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila
pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat
seperempat bagaian.
Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila
pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak maka janda mendapat
seperdelapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa
meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih
maka mereka bersama-sama mendapat
sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa
meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ua
mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan
tersebut bersama-sama dengan saudara
perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
maka bagian saudara laki-laki dua
berbanding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau
tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka
baginya diangkat wali berdasarkan
keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173.
* Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
: 2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut ialah :
ayah mendapat sepertiga bagfian bila
pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami
dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat
seperenam bagian.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya
dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan
warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya
atau oleh para ahli waris dapat
ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta
warisan dengan tugas:
a. mencatat dalam suatu daftar harta
peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak yang kemudian disahkan oleh
para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai
harganya dengan uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk
kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1)
sub a, b, dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di
atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan
kepada ahli waris yang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara
bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan
kepada ahli waris yang lain untuk
melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris
yang tidak menyetujui permintaan itu,
maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan
pembagian warisan.
Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi
berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya
dipertahankan kesatuannya sebagaimana
semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama
para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat
(1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris
yang bersangkutan ada yang memerlukan
uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang
atau lebih ahli waris yang dengan cara
membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai
dengan bagiannya masing-masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari
seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat
bagian atas gono-gini dari rumah tangga
dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris
adalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkanahli
waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau
tidaknya, maka harta tersebut atas
putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada
Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam
dan kesejahteraan umum.
BAB IV
AUL DAN RAD
Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan
di antara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih besar dari
angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang, dan baru
sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka
pembilang.
Pasal 193
Apabila dalam pembarian harta warisan
di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih kecil dari
angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,
maka pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masingmasing
ahli waris sedang sisanya dibagi
berimbang di antara mereka.
BAB V
WASIAT
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus
merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda
seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal
dunia.
Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan
dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang
saksi, atau dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila
semua ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku
bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat
(2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang
saksi atau tertulis di hadapan dua
orang saksi di hadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis
maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa
atau lembaga apa yang ditunjuk akan
menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon
penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum
karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada
pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan sesuatu kejahatan yang
diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang
lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau
ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau
mencabut atau merubah wasiat untuk
kepentingan calon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan
atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan
pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang
yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut
sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya
pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat tersebut,
tapi ia menolak untuk menerimanya;
c. mengetahui adanya wasiaty itu,
tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak
sampai ia meninggal sebelum meninggalnya
pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang
diwasiatkan musnah.
Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu
benda ataupun pemanfaatan suatu benda haris diberikan
jangka waktu tertentu.
Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya
selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuan atau sesudah menyatakan
persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan
secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
tertulis dengan disaksikan oleh dua
prang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat
terdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis,
maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte
Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.
Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak
bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi
sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat
hanya akan menerima harta yang tersisa.
Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari
harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui,
maka wasiat hanya dilaksanakan sampai
sepertiga harta warisnya.
Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai
kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi,
maka ahli waris dapat menentukan
kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan
tertup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang
membuatnya atau di tempat lain,
termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut
sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah
dicabut itu diserahkan kembali kepada
pewasiat.
Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka
surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris,
dibuka olehnya di hadapan ahli waris,
disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita
acara pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jikas surat wasiat yang tertutup
disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus
menyerahkan kepada Notaris setempat
atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya
Notaris atau Kantor Urusan Agama
tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1)
pasal ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud
surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan
Agama diserahkan kepada penerima wasiat
guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota
tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara
dan berada dalam daerah pertewmpuran
atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan
musuh, dibolehkan membuat surat wasiat
di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri
oleh dua orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan
melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
nakhoda atau mualim kapal, dan jika
pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang
yang menggantinya dengan dihadiri oleh
dua orang saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang
yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang
dan kepada orang yang memberi tuntutran
kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan
tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan
saksi-saksi pembuat akte tersebut.
Pasal 209
(1) Harta peninggalan anak angkat
dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut
di atas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya.
BAB VI
HIBAH
Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya
1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di
hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus
merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211
Hibah dan orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali,
kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Pasal 213
Hibah yang diberikan pada swaat pemberi
hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di
negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan
Konsulat atau Kedutaan Republik
Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
ketentuan pasal-pasal ini.
BUKU III
HUKUM PERWAKAFAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya
dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadat atau kerpeluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang
ataupun badan hukum yang mewakfkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak
dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik
benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya
tahan yang tidak hanya sekali pakai dan
bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau
badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah
yang diangkat berdasarkan peraturan
peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan
wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir
serta melakukan pengawasan untuk kelestarian
perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti
dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.
BAB II
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT
WAKAF
Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat
benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan
orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akalnya serta yang oleh hukum tidak
terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dapat mewakafkan benda
miliknya dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka
yang bertindak untuk dan atas namanya adalah
pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik
yang bebas dari segala pembebanan,
ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus
mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6),
yang kemudian menuangkannya dalam
bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurangkurangnya
2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu,
penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan
tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka
Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan
tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan
(2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat setelah mendengar saran dari
Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan
pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas,
harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan disaksikan
sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah
sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya
untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak
langsung dengan nama atau dalih apapun
tidak memberikan atau menjanjikan ataupun
memberikan sesuatu kepada siapapun
juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini
tiada sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa
akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab
yang dibebankan kepada saya selaku
Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan
maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan
untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat
(5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3
orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus
dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya,
dan pelaksanaan perwakafan sesuai
dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan
secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat dengan tembusan
kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya
lagi sebagai Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga
dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan
Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam
ayat (1), maka penggantinya diangkat
oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan
sendirinya digantikan oleh salah
seorang ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan
dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan
berdasarkan kelayakan atas saran
Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat.
BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN
DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu
Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat
menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan
ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf
ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula
pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti
dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan
menyerahkan kepada Pejabat yang
tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai
berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa
benda tidak bergerak, maka harus disertai surat
keterangan dari Kepala Desa, yang
diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan
pemilikan benda tidak bergerak
dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang
merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan
(4), maka Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan
mengajukan permohonan kepada Camat
untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan
guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN
PENGAWASAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang
telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau
penggunaan lain dari pada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut
dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama
Kecamatan berdasarkan saran dari
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan
alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan
tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang
yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir
diajukan kepada Pengadilan Agama
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersamasama
oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan
agama yang mewilayahinya.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula
pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan
ini, harus dilaporkan dan didaftarkan
kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
ini.
Ketentuan Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya
sesuai dengan rasa keadilan.
PENJELASAN
ATAS
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENJELASAN UMUM
1. Bagi bangsa dan negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
adalah mutlak adanya suatu hukum
nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaran
hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Peradilan Agama mempunyai kedudukan
yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya
sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini
berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang
pada garis besarnya meliputi
bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum
Perwakafan.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan
Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum
Materiil yang dijadikan pedoman dalam
bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber
pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab
Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum
masyarakat semakin berkembang sehingga
kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk
diperluas baik dengan menambahkan
kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran
terhadap ketentuan di dalamnya
membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama,
fatwa para ulama maupun perbandingan di
negara-negara lain.
5. Hukum Materiil tersebut perlu
dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku
Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat
dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan
Peradilan Agama sebagai hukum terapan
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah
berlakunya Undang-undang Peradilan agama.
Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dapat menjadi wali terdiri dari
wali nasab dan wali hakim, wali anak angkat dilakukan oleh
ayah kandung.
Pasal 20 s/d 71
Cukup jelas
Pasal 72
Yang dimaksud dengan penipuan ialah
bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah kemudian
ternyata diketahui sudah beristeri
sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula
penipuan terhadap identitas diri.
Pasal 73 s/d 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 88 s/d 93
Cukup jelas
Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas
Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 99 s/d 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 104 s/d 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 108 s/d 118
Cukup jelas
Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh
Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa.
Pasal 120 s/d 128
Cukup jelas
Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 130
Cukup jelas
Paal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 133 s/d 147
Cukup jelas
Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan
setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 149 s/d 185
Yang dimaksud dengan anak yang lahir di
luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah atau akibat
hubungan yang tidak sah.
Pasal 187 s/d 228
Cukup jelas
Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku
I, Buku II dan Buku III.